Entri Populer

Senin, 16 April 2012

Psikologi Pelajar - Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndik


BABI
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah
Persoalan pendidikan merupakan persoalan semua elemen masyarakat mulai dari pemerintahan, masyarakat dan orangtua. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1, menyebutkan bahwa  Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ini menandakan bahwa pemerintah harus bisa menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan meningkatkan pendidikan bagi rakyatnya. Pendidikan merupakan indikator IPM ( indeks Pembangunan Manusia) yaitu kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokrasi belajar, yaitu pengajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya.
Dengan memahami dan mempelajari mata kuliah Psikologi belajar, seorang calon guru dibekali pengetahuan, yang salah satunya berhubungan dengan teori-teori belajar. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia, sedangkan belajar merupakan kegiatan manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Agar kegiatan tersebut memperoleh hasil yang maksimal sesuai harapan
Tujuan dari mempelajari psikologi belajar adalah agar manusia mempunyai pemahaman lebih tentang individu, baik dirinya sendiri maupun oranglain serta dari hasil pemahamannya tersebut, seseorang diharapkan dapat bertindak ataupun memberikan perilaku yang lebih bijaksana.
Belajar bukanlah kegiatan yang hanya berlangsung di dalam kelas saja, tetapi juga berlangsug dalam kehidupan sehari-hari. Belajar tidak hanya melibatkan yang benar saja, tetapi juga melibatkan yang tidak benar. Belajar tidak selalu dalam pengetahuan atau keterampilan, tetapi juga dapat berkenaan dengan sikap, tingkah laku, serta kejiwaan dan perasaaan,
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang teori belajar yang merupakan hasil pemikiran dari Edward Lee Torndike yang disebut dengan teori belajar Conectionisme dilengkapi dengan hukum-hukumnya dan aplikasinya dilapangan. Teori belajar Conectionisme termasuk ke dalam teori belajar Behaviorisme.


1.2.      Rumusan Masalah
1.2.1    Apakah pengertian teori belajar Behaviorisme?
1.2.2    Apakah pengertian teori Connectionisme?
1.2.3    Bagaimana hukum-hukum teori Connectionisme?
1.2.4    Bagaimana aplikasi teori Connetionisme dilapangan?

1.3.      Tujuan Pembahasan
Melalui pembahasan dalam makalah ini, agar diketahui tentang
1.3.1    Pengertian teori belajar Behaviorisme
1.3.2    Pengertian teori Connectionisme
1.3.3    Hukum-hukum teori Connectionisme
1.3.4    Aplikasi teori Connetionisme di lapangan




















BAB   II
LANDASAN TEORI
Belajar tidak hanya meliputi mata pelajaran saja, tetapi juga penguasaanya, kebiasaan, persepsi kesenangan, minat , penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan dan cita -cita
Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dan persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.
Perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial, misal seorang penjahat mungkin sekali menjadi seorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial itu bukanlah perbaikan, melalui pemahaman tentang teori-teori belajar, seorang pendidik diharapkan tidak salah persepsi dalam pembelajaran, pendidikan, maupun prinsip-prinsip pembelajaran dan perkembangan teori pembelajaran, yang pada akhirnya menjadi bekal buat pendidik untuk melaksanakan dilapangan. Teori belajar yang dikenal saat ini diantaranya, teori Behaviorisme, kognitivisme dan Humanisme.
Teori Behaviorisme telah cukup lama dianut oleh para pendidik, akan tetapi teori ini banyak dikritik karena sering tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang komplek, hal ini terjadi karena banyak variabel atau hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan yang dapat di ubah menjadi hubungan stimulus dan respon. Tokoh-tokohnya yaitu : Ivan Petrovich Pavlov, Edward Lee Torndike,Skinner, Watson,Clark Hall, Edwin Guthnie.
Teori Kognitisme, menurut pandangan ini belajar adalah proses internal mental manusia yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan terjadi dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat dalam situasi tertentu, perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu refleksi dan perbuatan internal dan tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Tokoh-tokohnya yaitu : John Anderson, Jean Piaget, Robert Glaser, Jer orne Bruner dan David Ausubel.
Teori Humanistik, berpendapat bahwa, belajar tenjadi bila mempunyai anti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan murid yang tidak disukai atan tidak relevan dengan kehidupan mereka. Konsep dasarnya adalah Meaning ( makna atau arti). Tokoh-tokohnya adalah: Abrah am Maslov, Arthur Combs dan Donald Snygg.


BAB   III
PEMBAHASAN

3.1       Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner mengenai perubahan tingkah laku sebagai hasil dan pengalaman. Lalu teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan teori pembelajaran. Pengembangan teori ini dikenal aliran behavioristik
Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu ini menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Perilaku yang timbul akan semakin kuat jika diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan sebuah interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dapat menunjukkan perubahan pada perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input berupa stimulus dan output berupa respon.
Stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru pada murid, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan murid terhadap stimulus yang diberikan guru tersebut, Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamanati adalah stimulus dan respon. Jadi apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh murid (respon) harus bisa diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran sebab pengukuran merupakan hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya terjadi perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting dari aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Jika penguatan ditambahkan (positive reinvoreement) respon akan semakin kuat. Begitupun jika respon dikurangi atau dihilangkan (negative reinforcement), respon juga semakin lemah. Tokoh-tokohnya adalah Edward Lee Thorndike, Watson, Skinner, dll
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
3.2       Teori Connectionisme
Edward Lee Thorndike dianggap sebagai ilmuwan behaviorisme terbesar sepanjang sejarah. Teori-teorinya mudah dan dapat dimengerti serta mudah diaplikasikan di dunia nyata. Beberapa teori yang mengusik pikiran para kritikus pendidikan adalah salah satu teori utamanya yang disebut dengan conectionisme.
Edward Lee Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan kemudian Universitas Harvard telah membentuk ide-ide Thorndike mengenai psikologi. Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respons.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus  yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan). Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “conectionisme”. Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon ) atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk bertindak (impuls to action) disebut “bond” atau “connection” atau “association”. Karena itulah maka teori ini disebut “connectionis” atau “bond psikologi”. Menurut Thorndike, asosiasi itu membentuk sebagian besar, meskipun bukan seluruhnya, apa yang di pelajari dan diingat oleh manusia .Teori ini disebut juga dengan “trial and error learning” (belajar dengan cara coba salah) atau “learning by selecting and connecting” (belajar dengan menyaring dan menghubungkan). Menurut teori ini, belajar dilakukan dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat terhadap stimulus tertentu.
Dari definisi belajar tersebut menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran koneksionisme (connectionism).
Dalam melakukan eksperimennya, pilihan pertamanya mengadakan penyelidikan terhadap anak-anak (human learning) tetapi kemudian lingkungannya membuat ia mulai mempelajari binatang (animal learning) sebagai penggantinya. Percobaan pada binatang digunakan untuk membuktikan teorinya. Berdasarkan pada serentetan studi mengenai ayam dan kucing Thorndike mengkonsepsikan aktivitas problem solving binatang dengan istilah asosianistis. Melalui murid muridnya dan sejumlah besar kertas kerja dan bukunya, Thorndike secara serentak memberi pengaruh dasar pada penelitian psikologi belajar dan penerapan praktis di dalam psikologi pendidikan.
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukan sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing yang lapar dalam sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak, kucing itu harus mengetahui cara membuat palang di dalam kotak tersebut. Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengat menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan kekotak, dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen Puzzle box ini kemudian terkenal dengan instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hirdzman, 1978).[14]
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S              R             S1             R1             dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Berdasarkan eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning, Selain itu, teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”.
Adapun ciri-ciri belajar dengan Trial and Error Learning yaitu: adanya motif pendorong aktivitas, adanya berbagai respon terhadap situasi dan adanya aliminasi respon-respon yang gagal atau salah. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hikgard & Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, kucing yang dalam keadaan lapar. Seandainya kucing itu dalam keadaan kenyang, mungkin tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, mungkin kucing tertidur dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan perkataan lain, kucing tidak akan menunjukkan gejala belajar untuk keluar sangkar. Oleh karena itu, motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efek. Positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadikan dasar timbulnya hukum.
Dasar-dasar teori connectionisme dari Edward Lee Thorndike (1874-1949), diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah menggunakan reasoning atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
Dalam membuktikan teorinya thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. mula-mula kucing tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang kucing ini melakuakn respon atu tindakan dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada. Thrndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemuka jalan keluar membutuhkan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumblah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang ia pegang tindakan ini sehingga kucing tadi dalam keluar untuk mendaptkan makanan tidak lagi perlu mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
3.3          Hukum-hukum Belajar dari Edward Lee Thorndike
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (hukum primer) dan lima hukum tambahan (subsider).
  Adapun tiga hukum dasar (primer) dari Thorndike adalah sebagai berikut:
·                law of readiness; jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
·                 law of exercise; makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulasi respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”.
·                law of effect”; bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bila mana hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Faktor penting yang mempengaruhi semua belajar adalah reward atau “pernyataan kepuasan dari suatu kejadian”. Dalam penulisan kemudian, Thorndike menghapuskan bagian negatif yang “mengganggu” dari hukum law of effect (hukum pengaruh) karena dia menemukan bahwa hukuman tidak penting. Hukuman akan memperlemah ikatan dan tidak mempunyai efek apa-apa, berbeda dengan hadiah (reward).
Law of excercise (hukum latihan) adalah prinsip belajar yang kedua, yang pada umumnya dinyatakan hubungan antara S dan R akan menjadi semakin kuat dengan makin sering R (respons) dilaksanakan terhadap S (stimulus). Dengan latihan berkali-kali (law of use) hubungan S dan R makin kuat. Hubungan antara stimulus dan respons akan melemah bila latihan dihentikan atau bila hubungan neural (berhubungan dengan urat saraf) tidak ada. Dia juga memodifikasi dalam penulisan tanpa hadiah yang mendapatkan hadiah.
Teori belajar Thorndike mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran umum bagi guru adalah tahu apa yang harus diajarkan, respons apa yang diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat.
Thorndike menunjukkan satu ikatan antara stimulus dan respons yang terjadi dalam matematika. Ulangan yang tetap dari tabel perkalian dengan pemberian hadiah dari guru akan membentuk ikatan antara stimulus (berapa 7X7) dan respons (49). Dalam membaca ulangan juga ditekankan dengan menyuruh siswa belajar menggunakan kata sesering mungkin pada berbagai tingkat kelas.
The law af effect (hukum pengaruh) mengarah pada pemberian hadiah yang konkret, seperti gambar bintang yang ditempelkan pada dahi siswa (untuk siswa TK dan SD) pada kertas hasil ulangan siswa, pujian verbal. The law of exercise mengarah pada banyaknya ulangan, praktik, dan drill untuk semua mata pelajaran.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan antara lain:
·                Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan  adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
·                Hukum Sikap (Set/ Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,    emosi, sosial, maupun psikomotornya.
·                Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element).  Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
·                 Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
·                Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting). Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar yaitu :
Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah. Selanjutnya hukum akibat direvisi, dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon. Dan akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
Adapun Prinsip-Prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Edward Lee Thorndik, yaitu :
1.         Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2.         Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
3.         Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
3.4           Aplikasi Teori Connectionisme terhadap Pembelajaran Siswa
Edward Lee Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus. Bila peserta didikan melakukan respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum kesepian. Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.  Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Dengan konsep dasar teori koneksionisme Thorndike tersebut di atas, maka kami mencoba mengaplikasikan  ke dalam sebuah perencanaan pembelajaran IPS sebagai berikut:
a.     Pendahuluan
·        Guru meminta salah satu anak maju ke depan untuk memimpin menyanyikan sebuah lagu dari sabang sampai merauke, sehingga siswa mengawali proses pembelajaran dengan perasaan riang gembira dan bersemangat
·        Guru mengingatkan tentang materi pelajaran yang lalu dengan tanya jawab secara lisan. Hal ini dilakukan agar siswa memiliki bekal yang berkaitan dengan materi yng akan diperoleh.
·        Guru mengadakan Pre tes untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum mengikuti pembelajaran
·        Guru menunjukkan gambar-gambar tokoh atau yang lain sesuai dengan topik atau materi pelajaran yang akan diajarkan untuk membangun kesiapan siswa pada materi pelajaran yang akan diperoleh
b.          Kegiatan Inti
·        Siswa diminta untuk menunjukkan letak Pulau Irian Jaya pada peta
·        Memberi pertanyaan kepada siswa tentang isi Konferensi Meja Bundar yang berkaitan dengan status Irian Barat
·        Membagi kelas menjadi 5 kelompok, setiap kelompok beranggotakan 6 orang mendiskusikan tentang perjuangan bangsa Indonesia mengembalikan Irian Barat.
Kelmpok I.
Menjelaskan Keterkaitan antara isi Perjanjian KMB dengan usaha perjuangan
Pengembalian Irian Barat.

Kelompok II
Menjelaskan latar belakang terjadinya perjuangan mengembalikan Irian Barat.

Kelompok III
Mengidentifikasi perjuangan diplomasi dan ekonomi dalam upaya mengembalikan Irian Barat.

Kelompok IV
Mengidentifikasi perjuangan dengan konfrontasi politik dalam upaya mengembalikan Irian Barat.

Kelompok V
Mengidentifikasi pelaksanaan Trikomando rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menanggapi sekaligus memberi penilaian kepada kelompok yang presentasi.
Kelompok lain memberikan applaus sebagai penghargaan bagi kelompok yang selesai berdiskusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan oleh siswa, karena dengan memberikan penghargaan tersebut akan mempengaruhi motivasi dan hasil belajar siswa
c.       Kegiatan Penutup
·        Guru membimbing siswa menarik kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan
·        Memberi soal pos tes, dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa terhadap materi pelajaran yang telah diperolehnya selama proses pembelajaran.
·        Guru melakukan refleksi dengan menanyakan kesan-kesan kepada siswa tentang kegiatan yang dilakukan, sekaligus membahas kekurangan dan kelebihan pembelajaran pada hari itu
·        Guru memberi tugas mempelajari materi berikutnya sebagai upaya membangun kesiapan materi siswa pada pertemuan yang akan datang.
Adapun temuan di lapangan tentang teori belajar connectionisme yaitu dengan memahaini prinsip conectionisme ini, maka tugas utama pendidik di dalam kelas adalah membuat anak didikiiya memahami manfaat pelajaran yang akan disampaikannya. Manfaat yang dimaksud bukan berarti manfaat yang melambung-lambung, akan tetapi manfaat praktis yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut prinsip connectionisme, mata pelajaran yang tidak dipahami manfaat kesehariaannya, akan sulit pula dipahami oleh siswa. Andaikata pelajaran i tu dapat dihapalkan, akan cepat sekali dilupakan, karena apa saja yang tidak dibutuhkan akan dibuang.
Contoh, saat ini banyak sekali pelajaran yang sulit dimengerti manfaat praktisnya oleh anak didik. Sebagai contoh, anak SMA sudah diajarkan masalah eksport - import. Pertanyaan sederhana, apakah eksport-irnport adalah dunia anak remaja? Apakah benar mereka membutuhkan pelajaran i tu untuk bisa bertahan dalam kehidupan sehari-hari? Akhirnya yang terjadi adalah hapal menghapal asal hapal saja. Andaikata mata pelajaran itu secara material sekilas tidak ada manfaat praktisnya bagi peserta didik, maka di sinilah peran pendidik untuk menekankan manfaat pelajaran yang disampaikan. Mafaat dapat disampaikan dengan menggunakan contoh sehari-hari anak didik yang dikaitkan dengan pelajaran yang diajarkan. Dapat juga ditekankan tentang bagaimana fenomena sehari-hari yang ditemui, pada dasarnya hanya dapat dipahami hanya dengan mata pelajarana tersebut. Misalnya bagairnana pelajaran ekonomi dapat menjelaskan sampai masalah mengapa ibu-ibu anak didik semakin pelit, atau mengapa ayah selalu marah-marah kalau pulang kerja, dan yang lainnya. Pelajaran ekonomi yang hanya menjelaskan teori-teori saja, belum dapat menyentuh rasa butuh anak didik yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat mereka memahami pelajaran.
Contoh lain disebuah sekolah kejuruan (SMK), ada pelajaran normatif, adaptif dan produktif. Untuk mata pelajaran produktif, anak selain diberi teori tentang pelajaran tersebut, juga diberikan praktek langsung tentang teori yang sudah diberikan. Mereka di didik langsung berekspenimen mengaplikasikan teori-teori dasar yang sudah diajarkan .




BAB   IV
PENUTUP
4.1              Kesimpulan
Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu ini menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Perilaku yang timbul akan semakin kuat jika diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “conectionisme”. Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon ) atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk bertindak (impuls to action) disebut “bond” atau “connection” atau “association
  Adapun tiga hukum dasar (primer) dari Thorndike adalah sebagai berikut:
·                law of readiness; jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
·                 law of exercise; makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulasi respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”.
·                law of effect”; bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bila mana hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.

4.2              Saran
 Alhamdulilah makalah ini telah selesai tepat pada waktunya. Menurut kami, belajar terjadi karena adanya rasa ingin tahu dan dengan adanya dorongan motivasi. Yang bertujuan membentuk, menambah atau mengembangkan pengetahuan. Belajar yang baik harus sering diulang-ulang kemudian dipraktekkan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih maju di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin


DAFTAR PUSTAKA

Boere, George, 2005. Sejarah Psikologi, Jakatra, Prima Shopie.
Esti, Sri, 2006. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
              2008. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia.
George, Boere, 2005. Sejarah Psikologi, Jakarta, Prima Shopie.
Muchith, Saekhan, 2008. Pembelajaran Kontektual, Semarang, Media Group.
Rumini, Sri, 1993. Psikologi pendidikan, Yogyakarta, Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP).
Santrock, John W, 2008. Psikologi Pendidikan, Jogyakarta.
Soemanto, Wasty, 1998. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
                              2003. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin, 2007. Psikologi Belajar, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Tohirin, 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Rizal, Muhammad, 2004, Teori Thorndike dalam belajar.
http://pandidikan.blogspot.com/2010/04/teori-Thorndike-dalam-belajar.htlm













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Di tunggu komentar nya yaa .. :) makasii