Peranan Masyarakat dalam
Meningkatkan Pendidikan Agama
A. Pendahuluan
Peranserta, untuk
tidak menyebut prakarsa, masyarakat Muslim Indonesia dalam pendidikan dan
perguruan keagamaan sangat signifikan dan bahkan sangat dominan. Sepanjang
sejarah pendidikan Islam di kawasan ini, Masyarakat Muslim dalam skala yang
tetap besar bukan hanya berperan serta-artinya ikut “nimrung”-tetapi bahkan
mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan dan pemberdayaan
pendidikan keagamaan.
Tuntutan pengembangan
sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh karena itu
layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Selain keluarga
dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran
dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi
orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan
pokok seorang anak. Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu
merupakan peran dari kelompok masayarakat.
Menurut Al-Syaibani,
masyarakat dalam pengertian yang paling sederhana ialah kumpulan individu dan
kelompok yang di ikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Termasuk
segala jalinan hubungan yang timbal balik, kepentingan bersama,adat kebiasan,
pola-pola, teknik-teknik, syistem hidup, undang-undang,institusi dan segala
segi dan phenomena yang di rangkum oleh masyarakat dalam pengertian luas dan
baru.
Masyarakat merupakan
kelompok sosial terbesar dalam suatu negara. Selain di dalam lingkungan
keluarga dan lingkungan sekolah, pendidikan juga dapat berlangsung di dalam
lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat tentunya
berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada lingkungan keluarga dan sekolah.
Masyarakat yang terdiri dari individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya dalam sebuah mata
rantai kehidupan.
Bukan hal yang asing,
bila kita seringkali mendengar semboyan ini: Pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya,
sampai saat ini, peran serta masyarakat masih belum maksimal. Walaupun sekarang
semua sekolah telah membentuk Komite Sekolah yang pada prinsipnya merupakan
wakil masyarakat dalam membantu sekolah, namun belum berfungsi dan berperan
sebagaimana yang diharapkan. Karena itu kaitan masyarakat dan pendidikan dapat
ditinjau dari tiga segi yaitu :
1. Masyarakat sebagai
penyelenggara pendidikan baik dilembagakan maupun tidak dilembagakan
2. Lembaga-lembaga
masyarakat atau kelompok sosial masyarakat baik langsung maupun tidak langsung
mempunyuai peranan dan fungsi edukatif.
3. Dalam masyarakat
tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun tidak dirancang
dan dimanfaatkan.
Masyarakat adalah
kumpulan individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan,
dan agama yang memiliki cita-cita,peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan
tertentu. Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program
pembangunan. Hal itu sesuai pula dengan hak masyarakat dalam pendidikan yaitu
mereka dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan.
Masyarakat adalah
sistem sosial yang di dalamnya unit-unit melakukan saling hubungan dalam
memberi aksi dan reaksi terhadap setiap peristiwa. Setiap aksi-reaksi
masyarakat merupakan respon sekaligus stimulan bagi munculnya inovasi dan
transformasi dalam masyarakat itu sendiri. Proses tranformasi terjadi dalam
struktur sosial melalui proses komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung.
Proses komunikasi itu kemudian memberikan warna terhadap perubahan cara pandang
dan budaya masyarakat melalui agen perubahan. Agen perubahan adalah masyarakat
itu sendiri. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari perubahan yang terjadi di
dalam.
Selama ini
penyelenggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program
pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan
pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan
pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan kepentingan
mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara individu atau
kelompok, spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat.
B. Definisi
operasional dan Pembatasan Masalah
Ada beberapa definisi
operasional yang penulis maksud dalam pembahasan makalah ini, antara lain:
Peranan adalah proses
aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat, yang dapat terwujud sebagai
suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya, yaitu :
adanya kemauan. kemampuan dan kesempatan.
Masyarakat adalah
masyarakat muslim, yakni kelompok warga negara Indonesia non pemerintah yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam pendidikan
Pendidikan agama
adalah pendidikan agama Islam terutama di sekolah formal maupun non formal.
Selanjutnya,
pembahasan dalam makalah ini akan difokuskan pada rumusan pertanyaan sebagai
berikut:
1. Mengapa masyarakat
perlu berperan dalam pendidikan agama;
2. Apakah yang
mendasari peran serta masyarakat dalam pendidikan agama?
3. Apakah bentuk
peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama?
C. Dasar-dasar
Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Diantara dasar-dasar
yang menjadi landasan peranan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan
agama adalah:
1. Tanggung jawab
individu masyarakat
Al-Syaibany yang
dikutip oleh Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai berikut: “diantara ulama
muktahir yang menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud Al-Akkad
yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia
pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai
“Makhluk yang bertanggung Jawab”. Sebagaimana dalam Alqur’an,
Allah berfirman :
Q.S. Ath.-Thur 21
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ
بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.(QS. 52.Ath-Thuur: 21)
Allah berfirman: QS.
At-Tahrim, 66 : 6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. 66. At-Tahrim: 6)
Sekalipun Islam
menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan
menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial dan
menjadikan masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan
mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab
membina, memakmurkan, memperbaiki, dan memerintahkan yang ma’ruf melarang yang
mungkar dimana manusia memiliki tanggung jawab manusi melebihi
perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya,
keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat
tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan
manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa
yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang
lain itu termasuk orang yang berada dibawah perintah dan pengawasannya seperti
istri, anak dan lain-lain.
Allah berfirman :QS.
Ali Imran, 3 : 110
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. 3. Ali Imran
: 110)
Dengan demikian
jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial
sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini
tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya orang-orang yang berada
dibawah perintah, pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Ini
berlaku saat diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga
pendidikan pemerintah.
2. UU Sisdiknas No.
20 Tahun 2003
Reformasi yang
dilakukan oleh pemerintah dewasa ini adalah lebih mengedepankan peran serta
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan berlakunya
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional berubah
pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan. Pasal
54 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
1. Peranserta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2. Masyarakat dapat
berperanserta sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan. Sedangkan
pasal 56 menyatakan:
Masyarakat berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah.
Dewan Pendidikan
sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkhie.
Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
D. Tantangan
Pendidikan Agama
Sebelum menjelaskan
tentang peranan masyarakat dalam peningkatan pendidikan agama, ada baiknya
diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan pendidikan agama.
Sehingga peranan yang dimainkan oleh masyarakat tersebut pada gilirannya
sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang saat ini tengah
dihadapi pendidikan agama. Diantara persoalan-persoalan tersebut adalah:
a. Krisis
moral-akhlak
Memperhatikan
kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggara
pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa
bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar
mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.
Pendidikan agama
adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah
menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai
contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik
karena kebetulan bapak-ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan
yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau
kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum.
Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.
Keberhasilan
pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja,
tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu
pendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (nonformal). Pengaruh
faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang serius pada
dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak yang jujur,
tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka menjumpai perilaku suap-menyuap,
korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela.
Di sekolah mereka
dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras, tetapi dalam tayangan
televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak yang
berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan kebiasaan mereka
sehari-hari.
Perlu diingat,
kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya dengan menyatakan,
bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang kurang
berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak
faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya,
dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi menyebabkan banyak
orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat
mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain. Contoh lain,
karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup mewah, maka
karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki kendaraan bermotor.
Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa memiliki
kendaraan bermotor.
Kiranya perlu kita
sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkelahian antar pelajar
terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk
kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat,
guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga
ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut
guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing
hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada
kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap
kurangajar! Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku
dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa
semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator
kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski
demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang
terjadi, terjadilah!
”Tokoh-tokoh Islam,
Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu
proaktif untuk ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme
tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang
suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan
kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik
dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali
lagi, hal tersebut bukan indikator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan
dan pengamalan keagamaan umat Islam Indonesia.
b. Disorientasi
fungsi keluarga
Fungsi keluarga yang
dikenal sebagi tempat pendidikan utama dan pertama, nampaknya saat ini sudah
berubah seiring dengan era globalisasi dalam setiap lini kehiduapan. Fungsi
keluarga yang semula menjadi basecamp pendidikan pertama bagi anggota keluarga
(anak, ibu dan bapak), saat ini mulai bergeser ke luar, yakni bisa berpindah ke
lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu yang sering
disebut sebagai “madrosatul ula” saat ini sudah banyak yang berkerja,
berprofesi di luar rumah. Sehingga pada gilirannya anggota keluarga, terutama
anak-anak sering menjadi korban, kurang terperhatikan, terutama dalam kebutuhan
psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya. Akhirnya mereka banyak
yang sering melampiaskan kegiatannya di luar rumah, dan terjerumus ke jurang
kenistaan dan kehinaan.
c. Lemahnya learning
society
Seiring dengan era
globalisasi, dimana sikap individualitas semakin menguat dan gaya interaksi
antar individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersebut telah berakibat
pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di lingkungan keluarga.
Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia-
meski belum secara maksimal- namun secara konsep masih meraba-raba. Dalam
batasan ini, adapun yang dimaksud dengan learning society adalah pemberdayaan
peran masyarakat dalam keluarga dalam bidang pendidikan, termasuk dalam bidang
pendidikan agama. Selama ini peran pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang
baru mendapatkan perhatian. Sementara pendidikan non formal dan informal di
Indonesia belum mendapatkan perhatian hanya dalam porsi yang sedikit.
d. Menguatnya faham
sekuler dan liberal
Diantara tantangan
yang cukup serius yang dihadapi pendidikan agama adalah menguatnya faham
sekular dan liberal. Kedua faham tersebut tak jarang menjadikan kebingungan di
kalangan masyarakat; Sekularisme atau ( الما
نية ) adalah sebuah gerakan yang menyeru
kepada kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama. Ini berarti bahwa dalam
aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar pada sekularisme. Sementara
Liberalisme adalah faham kebebasan dalam memahami syari’at, yaitu dengan
melakukan perubahan metodologi ijtihad yang menekankan aspek kontekstualitas
historis, rasio, sehingga hukum Islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian.
Padahal agama Islam
yang merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai agama yang universal
dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan), mempunyai pandangan yang
serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah dalam setiap persoalan
(manhaj al-wustho(
e. Masih Kuatnya
Manajeman Patriarki
Dalam ruang lingkup
lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen
patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di lembaga
tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnya dari unsur ketua
yayasan, Pembina,, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, bahkan Guru dan staf.
Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi
manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada. Yang sudah barang tentu
akan mengganggu pada profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut.
Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama, apabila manajemen yang digunakan
masih berpusat pada manajemen keluarga (patriarki), maka dapat dikatakan
tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggung jawabkan.
E. Peranan Masyarakat
dalam Pendidikan Agama
Berdasarkan pada
tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
tersebut di atas, maka bentuk-bentuk peranan masyarakat dalam meningkatkan
pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi dan
reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota keluarga yang
terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang strategis
dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab orang tua
dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan memberi dampak
yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri
teladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam
proses pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan peribadi yang
sempurna (berkeperibadian islami).
Di tengah-tengah
terjadinya disfungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan partama dan utama,
adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan fungsinya
sebagai “madrosatul ula”. Fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat
penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak, yang merupakan lingkungan
terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan,
Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama dan keagamaan
Salah satu peluang
untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama dan keagamaan
adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa terutama
pendidikan formal yang bercorak keislaman yang dibawah naungan Kementerian
Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau sejenisnya masih cukup
memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di bawah naungan
kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan agama (unit cost)
tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah, selebihnya (62 %) masih
ditanggung anggota masyarakat (orang tua) . Hal tersebut menunjukkan contoh
konkret peran serta masyarakat sekaligus kemandirian madrasah yang harus
dipertahankan, sekaligus ditingkatkan. Sementara itu mayoritas madrasah (91 %)
dikelola oleh swasta dengan jumlah keseluruhan satuan pendidikan madrasah
sebanyak 40.258 buah.
Peran serta
masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk penambahan bangunan madrasah,
sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid Madrasah, dan saran penunjang
lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh masyarakat pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana Baitul Hikmah melakukan
gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti perpustakaan, dll.
Wakaf pada asalnya
adalah bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya untuk kebaikan, atau
harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal.
3. Penguatan Learning
Society dalam Pendidikan Agama
Salah satu sarana
potensial dalam penguatan learning society adalah Masjid, Musholla, Langgar dan
sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW memiliki Masjid atau Musholla, yang
secara umum mempunyai jama’ah masing-masing (yang terdiri dari anggota
masyarakat). Dalam kontek ini Masjid telah berfungsi sebagai tempat belajar
masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman. Pusat-pusat
pembelajaran masyarakat tentang agama telah berdiri di Masjid selama
berabad-abad sehingga sampai sekarang. Namun di era teknologi
informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan kehidupan,
maka tradisi mengaji di masjid, musholla dan langgar pada saat ini berkurang.
Jutaan mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas shalat magrib
sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan televisi, menonton
sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.
Dalam kondisi yang
seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam mengembalikan
kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning society melalui
pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll., menjadi sangat penting
untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreatif. Selain itu untuk meminimalistir
distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat dipelopori juga gerakan TV dan
internet sehat, dll.
4. Berpartsipasi
aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah satu sarana
untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah masyarakat
dapat berperan aktif di Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana diatur dalam pasal
56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang pendidikan agama.
5. Mendorong dan
mendukung semua program Pendidikan Agama di madrasah/sekolah;
Peran serta masyakat
untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat dilakukan dengan mendorong dan
mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang terkait peningkatan mutu
pendidikan agama, baik melalui program kurikuler, misalnya, dengan adanya jam
tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca Alqur’an setiap hari pada awal
pembelajaran, seperti di Al-Azhar, dan Islamic Fullday School, atau beberapa
sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana Muslim di Sekolah umum. Dan juga
dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler, seperti Studi Islam Intensif,
Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6. Mendirikan dan
mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu
Diakui atau tidak,
lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih dianggap lembaga pendidikan
nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Dan hal ini
pula yang menjadi keprihatinan para pengamat pendidikan Islam. Maka salah satu
peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan agama adalah
dengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis
mutu.
Untuk menjadikan
lembaga pendidikan agama dan keagamaan (seperti Madrasah) yang bermutu, maka
menurut Afifuddin aspek-aspek suatu sekolah/madrasahnya dipersyaratkan
mempunyai standar mutu pula, antara lain aspek administrasi/manajemen, Aspek
Ketenagaan, Aspek Kesiswaan, Aspek Kultur Belajar, Aspek Sarana dan Prasarana.
Namun demikian, saat ini telah bermunculan beberapa sekolah/madrasah bercorak
keagamaan/Ke-Islaman yang telah dianggap berbasis mutu, seperti MIN 1 Malang
Jawa Timur, SMU Insan Cendikia Serpong-Tangerang, SMU Madania, Parung-Bogor,
Madrasah Pembangunan UIN jakarta, AL-Azhar Pondok Labu-Jakarta, dll.
7. Penguatan
Manajemen Pendidikan Agama
Salah satu titik
kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas dikelola swasta,
antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para
pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan, Pembina,
Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah mayoritas terdiri
dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan
terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak terjadi
adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah adalah suami
isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah tersebut, dan
kerabat lainnya.
Kondisi tersebut
dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara baik, dan
memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam sekolah
yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan
realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam
konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen
lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya
tetap memperhatikan profesionalitas.
F. Penutup/Kesimpulan
Secara garis besar
peningkatan “peranserta” masyarakat dalam pemberdayaan dan peningkatan
pendidikan keagamaan dapat dikerangkakan sebagai berikut; Pertama; peningkatan
peranserta masyarakat dalam pemberdayaan managemen pendidikan.yakni peningkatan
pengembangan managemen yang lebih accountable, baik dari segi keuangan maupun
organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui peningkatan ini, sumber-sumber
finansial masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara lebih efisien untuk
pemberdayaan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam; begitu juga dari segi
organisasi, sehingga menjadi lebih viable dan durable dalam perubahan dan
tantangan zaman. Kedua, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan
pendidikan yang berkualitas dan berkeunggulan, yang pada gilirannya akan
mendorong perkembangan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya
menjadi “centers of exellence “ yang mengahsilkan pendidik yang berparadigma
keilmuan “komprehensif”, yakni pengetahuan umum dan agama, plus imtaq. Ketiga; peningkatan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang dapat
dalam masyarakat, sehingga system pendidikan Islam tidak terpisah, atau menjadi
bagian integral dari masyarakat muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan
ini, madrasah atau perguruan lainnya dapat menjadi “core’’ dari “learning
society”, masyarakat belajar, yang gilirannya membuat anak didik keluaran
lembaga pendidikan Islam lebih berkualitas, capable, fungsional dan integrated
dengan masyarakat.
Penghayatan dan pengamalan
keagamaan umat Islam dalam masa dua atau tiga dekade terakhir ini jauh lebih
maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde
lama. Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama
telah memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan
dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam Indonesia.
Kesadaran masyarakat
untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik
kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya
kegiatan “pendidikan agama”. Melalui media masa, munculnya pengajian-pengajian,
majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al Qur’an,
dan lain-lain.Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu
didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang
ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin (2010),
Bahan Perkuliahan Manajemen Madrasah, Pascasarjana UIN Bandung
Al-Syaibani, Omar
Mohammad Al-Toumy (1979), Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta
Azra, Azumardi
(1999), Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos
Wacana Ilmu, cet.1, Jakarta
Darajat, Zakiah (2009
), Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Everett, M. Rogers
(1995), Diffusion of Inovation, The Free Press, New York
Hidayati, Umul
(2007), Permaslahan Madrasah pada Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal EDUKASI
Nanang Fattah (2007),
Indikator Kemandirian Pembiayaan Madrasah, dalam Jurnal EDUKASI, Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang dan Diklat Kemenag RI, Jakarta
Nizar, Samsul (2002),
Filsafat pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan Praktis, Cet.1 Ciputat Pers,
Jakarta
Ravik Karsidi (2005),
Sosiologi Pendidikan, UNS Press, Surakarta
Tirtarahardja, Umar
dan S.L.La Sulo (2005), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta
UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 pasal 8 tentang hak masyarakat.
www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas
(diunduh, 31 Maret 2011)
WAMI Lembaga
Penelitian dan Penelitian (1995), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, , terjemahan
bahasa Indonesia , Penerbit Al-Ishlahi Press, Jakarta
Zuhairini,dkk.
(1992), Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Cet.3, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Di tunggu komentar nya yaa .. :) makasii