Entri Populer

Selasa, 08 Februari 2011

makalah ilmu kalam

BAB III
PEMBAHASAN
Sunni atau biasa dikenal dan disebut dengan Ahli Sunnah Wal- Jama’ah adalah merupakan kelompok mayoritas kaum muslim di dunia. Sekitar 90% umat muslim dunia berpegang teguh kepada aliran ini karena aliran ini yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Istilah ini (Ahlu al-Sunnah Wal-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun. Kaum Sunni masih berpegang teguh kepada empat mazhab yang diyakini sebagai mazhab yang shahih, diantaranya, Mazhab Syafi’I, Mazhab Hambali, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dalam syariah.
Aspek ajaran Ahlu as-Sunnah (Sunni) yang terpenting adalah jika dibandingkan dengan ajaran Syi’ah adalah teori politiknya. Semua kalangan Sunni mengakui otoritas keempat khalifah yang pertama, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalin, sebagai penerus tugas Nabi yang menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka disebut al-Khulafa al-Rasyidin


      Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat
      Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama
      "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang"(Al An’am :106)

“Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS.Al – Nisa’,4:59).
     Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi Nya. Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
      Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
      Kata Syi’ah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, selain itu juga mengandung artian dengan makna pendukung dan pecinta atau dapat diartikan juga dengan makna kelompok. Sebagai contoh: Syi’ah Muhammad artinya pengikut Muhammad atau pecinta Muhammad, bisa juga kelompok Muhammad. Maka, menurut istilah bahasa kita kaum muslim dapat diartikan sebagai Syiahnya Muhammad. Namun pada zaman Rasullulah syiah-syiah banyak berkembang sebelum adanya Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan hal ini pun langsung dihapuskan dengan segera oleh Rasulullah SAW. Karena Rasulullah diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan agama Allah, dan juga mempersatukan umat Islam secara keseluruhan. Seperti arti dari ayat dalam Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 103:
“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya terhadap tali (agama) Allah dan jangan lah kalian bercerai-berai (berkelompok-kelompok)”
Tetapi setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka kelompok/syiah-syiah pun bermunculan kembali dalam tubuh umat muslim. Dan hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya pertentangan dalam pemilihan khalifah pada masa pemilihan Abu bakar Ash-shidiq, saat itu ada satu kelompok dari orang-orang Ansor yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah. Tetapi setelah disepakati dan dibaiatnya Sayyidina Abu bakar maka bubarlah kelompok Ansor tersebut
Kaum Syiah adalah para pengikut setia dari Khalifah Ali bin Abi Thalib. Keyakinan mereka yang sangat tinggi kepada Khalifah Ali membawa keyakinan bahwa Khalifah Ali adalah Khalifah terpilih dari Nabi Muhammad SAW, Karena ia dianggap sebagai sahabat terbaik diantara sahabat-sahabat Nabi.Kelompok Syiah sendiri muncul setelah terjadinya perang shiffin berakhir, dan akhirnya pada waktu terbagi dalam 3 fraksi politik, pertama, kelompok Khawarij, kedua, kelompok Muawiyah yang berhasil membentuk dinasti bani Umayah, ketiga, kelompok Ali yang kemudian terkenal dengan sebutan Syi’ah.
Kaum Syi’ah terpecah kedalam beberapa golongan, golongan yang paling besar dan berpengaruh adalah Syi’ah Dua Belas (Syi’ah Istna ‘Asyariyah), Syi’ah Tujuh (Syi’ah Sab’iyah) yang disebut juga Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Fathimiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Pertama dan kedua disebut juga Syi’ah Imamiyah
      Di dalam kaum Syiah yang terbagi-bagi dalam berbagai golongan, kaum Syi’ah Dua Belas mengakui adanya 12 Imam, diantaranya yaitu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, Al-Husein bin Ali, Ali Zain Abidin, Ja’far al-Shadiq, Ali al-Rida bin Musa al-Kazim, Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Rida, Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad, Al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi, dan Muhammad al-Muntazhar bin Al-Hasan al-Askari. Golongan ini hanya membatasi 12 Imam, karena menurut pemahaman kaum Syi’ah Imam ke 12 tidak meninggalkan keturunan. Kaum Syi’ah sendiri meyakini bahwa ia menghilang untuk sementara dan akan kembali suatu saat nanti yang belum diketahui kapan pastinya. Sedangkan menurut Syi’ah Ismailiyah hanya meyakini tujuh Imam. Kedua golongan Syi’ah Imamiyah ini hanya sepakat sampai kepada Imam ke enam (Ja’far al-Shadiq). Tidak seperti Syi’ah Imamiyah, Syiah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori Imam bersembunyi. Bagi Zaidiyah, Imam harus memimpin langsung umat, dan berasal dari keturunan Ali dan fatimah. Para pengikutnya tidak menempatkan Imam pada martabat kenabian, semua sama seperti seluruh manusia, hanya saja para Imam itu adalah manusia terbaik sesudah Rasulullah
      Paradigma pemikiran Syi’ah Imamiyah tentang Imamah adalah imamah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat dan menentukan orang yang memegang jabatan kekuasaan. Sebab masalah imamah termasuk rukun agama dan kaidah Islam. Untuk melegitimasi keyakinan ini, kaum Syi’ah mengemukakan nash (bukti tekstual) dari Nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk menjadi Imam atau khalifah yang menggantikan Nabi setelah beliau wafat. Nash yang mereka kemukakan adalah:
“Barang siapa menganggapku pemimpinnya maka Ali juga adalah pemimimpinya”
Mereka kaum Syi’ah meyakini kebenaran hadits dan kesahihan sanadnya. Hadits-hadits itulah yang menjadi dasar keyakinan kaum Syi’ah bahwa Nabi Muhammad SAW, sebelum ia wafat, telah menetapkan Ali sebagai pengganti beliau. Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi Muhammad, yang menerima wasiat beliau. Dengan demikian kepemimpian dan kekuasaan di bidang agama dan politik dan sifat kesucian yang ada pada Nabi diwariskan kepada Ali dan berlanjut kepada imam-imam yang berikutnya. Perbedaanya terletak pada Nabi menerima wahyu, sedangkan imam tidak.
Ahlu sunnah atau yang dikenal dengna sunny pada mulannya merupkan sekelompok ulama’ yang berpendirian bahwa orang- orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah dan mu’tazilah telah banyak menyeeweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah menyeleweng dari “sunnah nabi” dan “sunnah para salaf”.
Sunny merupakan sebuah kelompok besar dalam Islam yang tetap teguh untuk mengikuti sunnah- sunnah nabi, yang itu berbeda dengan aliran- aliran lain daam Islam seperti syi’ah, khawarij ataupun mu’tazilah dan murji’ah. Para kelompok ulama’ ahlu sunnah tersebut kemudian menyebarluaskan ajarannya tersebut . akan tetapi kemusian pada suatu waktu digunakan olh para penguasa untuk menjadi alat politiknya, yaitu pada waktu mereka mendapat oposisi dari partai- partai yang telah ada. Dan inilah awal mula kelompok ahlu sunnah dipergunakan untuk menjadi alat politik oleh para penguasa dan akhirnya menjadi sebuah partai politik, sehingga disebut partai ahlu sunnah
Ajaran utama dari ahlu sunnah adalah mengakui akan adanya khulafaur rasyiddin yaitu abu bakar rasyiddin, umar bin khatab, usman bin affan dan ali bin ali thalib. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sebenarnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunni membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syariah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunni dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan.
Seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya. Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunni pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki seseorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentang karakteristik-karakteristiknya. Bagaimanapun, saat itu teori khalifah belum disakralkan dan baru terjadi sakralisasi pada dinasti Abbasiyah, di mana ahli hukum Sunni menciptakan dan memformulasikannya.
Otoritas Sunni menganggap khilafah sebagai lembaga politik yang sah dalam masyarakat Islam. Karena hanya ada satu ummat dan satu hukum Syariah, maka secara ideal hanya boleh ada satu orang khalifah yang melindungi ummat, serta mengawasi pelaksanaan syariah sesuai dengan pandangan ulama. Tetapi kemudian ketika khalifah kehilangan kekuasaan politik dan raja-raja kuat memerintah dunia Islam, teori ini direvisi terutama mengenai masalah yang mencakup khalifah, Sulthan, dan syariah. Khalifah melambangkan kesatuan ummat dan kekuasaan syariah, sedangkan Sulthan mengurus soal-soal aktual, militer dan politik, serta dimaksudkan untuk menjalankan hukum dan melindungi ummat. Di dalam masyarakat Sunni tidak ada satu teori politik universal. Dasar utama pemikiran politik Sunni adalah prinsip bahwa khalifah adalah suatu pemerintahan yang menjaga aturan-aturan syariah yang menjamin penerapannya dalam praktik. Selama prinsip itu berjalan, boleh jadi terdapat perbedaan pendapat yang tak terbatas dalam penerapannya. Ahli fiqih Sunni berasumsi bahwa otoritas khalifah termasuk segalanya dan bahwa mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa, dengan sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh para ahli fiqih Sunni kontemporer, yang berargumen bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu sebagai penguasa atas kaum Muslim. Sebagai konsekuensi logis ialah tidak menjadi persoalan siapa yang memerintah dan bagaimana ia memperoleh otoritas tersebut. Dalam kenyataannya teori politik yang dikembangkan oleh teoritisasi Sunni praktis terus berubah bersama dengan perubahan politik yang terjadi di dunia Islam.
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat. Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan. Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut. Pemikiran politik Sunni ini ada pergeseran, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kudeta), yang justru melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah
Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Shi'ah. Pemikir Sunni, seperti Al MAwardi menulis kitab yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan. Kitab tersebut menjelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbassiyah.
      Bibit dari terciptanya syi’ah adalah pendapat yang menyatakan bahwa Ali lah yang berhak menjadi khalifah; dan untuk selanjutnya adalah para pendukung Ali. Asas ajaran mereka bahwa khalifah yang dalam istilah mereka disebut “imam” adalah sayyidina Ali setelah wafatnya Rosulullah Muhammad, kemudian berturut- turut Imam itu ditetapkan oleh Alloh dari turunan Ali. Menurut mrereka mengakui Imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman. Imam menurut paham mereka adalah guru tertinggi yang ma’sum (terbebas dari dosa). Imam yang pertama (Ali) telah mewarisi ilmu dari Nabi, dia manusia luar biasa yang tidak mungkin salah. Ilmu menurut mereka ada dua macam; ilmu lahir dan ilmu kebatinan. Nabi telah mengajarkan kepada Ali kedua macam Ilmu ini, telah memperlihatkan kepadanya segala rahasia alam, yang sudah dan yang akan datang.
      Golongan syi’ah terpecah menjadi beberepa sekte- sekte yang satu sama lainnya sangat berbeda. Ada sekte yang sangat ekstrim yang mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan. Diantara sekte- sekte dalam syi’ah adalah sebagai berikut: Zidiyah, Imamiyah yang kemudian bercabang menjadi beberapa sekte baru diantaranya yaitu Isna Asyariyah, Ismailiyah, dan sebagainya. Syi’ah merupakan kelompok yang memiliki madzhab fiqh, pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf dan keyakinan dalam akidah.sedangakan dalam hal politik dan pemerinytahan didalam syi’ah sangat terkenal dengan istilah Imamah.
      Konsep imamah menurut Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah berpendapat bahwa Allah swt telah menyuruh Rasulullah saw untuk menetapkan penggantinya yaitu Ali bin Abi Thalib sepeninggal Beliau melalui ayat-ayat yang mereka interpretasikan sedemikian rupa. Imamah (kepemimpinan) dalam pendapat Syi’ah setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Dalam Syi'ah kepemimpinan ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat
      Imamah, menurut mereka merupakan salah satu rukun agama. Karenanya pemilihannya tidak boleh diserahkan kepada ummat, melainkan Nabi-lah yang menetapkan seseorang Imam dengan jelas. Kedua, Seorang Imam haruslah seorang maksum. Pengertian maksum ini menurut anggapan mereka yaitu seorang yang suci, terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, dan ia tidak boleh berbuat suatu kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, berupa ucapan atau tindakan adalah hak dan benar. Ketiga, kaum Syi'ah menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah Imam yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Nabi sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas. Keempat, setiap Imam yang baru harus ditunjuk dan ditetapkan dengan nash oleh pendahulunya. Mereka berpegangan bahwa jabatan itu tidak dibenarkan pelaksanaannya di tangan umat
      Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[4] Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna "mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab, berlepas diri dari keduanya, dan sebagian sahabat yang mengikuti keduanya".
      Sebagian Sunni menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan. Syi'ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif.
      Namun terdapat pula kaum Syi'ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan diantara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.

Sedangkan dalam konsep Sunni adalah musyawarah, kontrak penguasa rakyat dan sumpah setia (bai’at).




BAB IV
PENUTUP
kelompok Sunny dan Syi’ah merupakan kelompok terbesar dalam Islam karena terdapat politik di dalamnya. Perbedaan mendasar keduannya adalah dalam hal mempercayai akan adanya empat khulafaur rasyiddin sebagai pengganti kekhalifahan setelah nabi wafat, kaum Sunny mengakuia akan adanya khulafaur rasyiddin sedangkan syi’ah berpedoman yag berhak menggantikan Nabi Muhammad adalah hanya ahlul bait dalam hal ini yaitu Sayyidina Ali dan keturunannya. Selain itu Sunny mengakui terhadap musyawarah untuk memilih pemimpin, akan tetapi dalam syi’ah tidak ada sistem musyawarah dalam memilih pemimpin. Mereka meyakini yang berhak memimpin adalah wakil yang sudah menjadi pilihan Alloh dalam konteks ini adalah Sayidina Ali dan keturunannya.
Syi’ah dan Sunni begitu pesat dalam dunia Islam. Kelompok Syi’ah berkembang begitu pesat di daerah Timur Tengah seperti, Iran, Afganistan, Irak, dsb. Syi’ah hanya sebuah aliran politik, karena benih kelahiran kelompok Syi’ah adalah khalifah seperti yang pernah di ungkapkan oleh Syekh Abdulhalim Mahmud dalam bukunya "Attafkir Alfalsafi Fil Islam" yang menyatakan bahwa pada hakekatnya "Syiah adalah aliran politik". Berbeda dengan aliran Sunni (Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah) yang lahir dari persoalan aqidah dan kemudian masuk kedalam masalah politik.
Sebagai kaum muslim sebaiknya kita tidak trjebak akan perbedaa- perbedaan tersebut, lebih banyak permasalah umat muslim yang lebih Universal, kita harus berusaha untuk lebih memikirkan permasalahan- permasalahan yang dihadapi umat muslim yang universal bukan malah mempermasalahkan dalam lingkup internal Islam sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Hasjmy,A.1983. syi’ah dan ahlusunnah saling rebut pengaruh dan kekuasan sejak awal Islam di kepulauan Nusantara. Surabaya:PT Bina Ilmu.

Surbakti, Ramlan.1999. Memehami ilmu politik. Jakarta: PT Grasindo

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.

Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
http://www.republika.co.id/berita/3527/Perbedaan_Syiah_dan_Sunni diakses tanggal 24 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Di tunggu komentar nya yaa .. :) makasii