BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Persoalan pendidikan merupakan persoalan semua elemen masyarakat mulai
dari pemerintahan, masyarakat dan orangtua. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 31 Ayat 1, menyebutkan bahwa
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ini menandakan bahwa
pemerintah harus bisa menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena bangsa yang ingin maju
adalah bangsa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan meningkatkan
pendidikan bagi rakyatnya. Pendidikan merupakan indikator IPM ( indeks Pembangunan
Manusia) yaitu kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Tantangan dunia pendidikan ke
depan adalah mewujudkan proses demokrasi belajar, yaitu pengajaran yang
mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai dengan
karakteristiknya.
Dengan memahami dan mempelajari mata kuliah Psikologi belajar, seorang
calon guru dibekali pengetahuan, yang salah satunya berhubungan dengan
teori-teori belajar. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan berupaya memahami
keadaan dan perilaku manusia, sedangkan belajar merupakan kegiatan manusia yang
berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Agar kegiatan
tersebut memperoleh hasil yang maksimal sesuai harapan
Tujuan dari mempelajari psikologi belajar adalah agar manusia mempunyai
pemahaman lebih tentang individu, baik dirinya sendiri maupun oranglain serta
dari hasil pemahamannya tersebut, seseorang diharapkan dapat bertindak ataupun
memberikan perilaku yang lebih bijaksana.
Belajar bukanlah kegiatan yang hanya berlangsung di dalam kelas saja,
tetapi juga berlangsug dalam kehidupan sehari-hari. Belajar tidak hanya
melibatkan yang benar saja, tetapi juga melibatkan yang tidak benar. Belajar
tidak selalu dalam pengetahuan atau keterampilan, tetapi juga dapat berkenaan
dengan sikap, tingkah laku, serta kejiwaan dan perasaaan,
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang teori belajar yang merupakan
hasil pemikiran dari Edward Lee Torndike yang disebut dengan teori belajar
Conectionisme dilengkapi dengan hukum-hukumnya dan aplikasinya dilapangan.
Teori belajar Conectionisme termasuk ke dalam teori belajar Behaviorisme.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian teori
belajar Behaviorisme?
1.2.2 Apakah pengertian teori
Connectionisme?
1.2.3 Bagaimana hukum-hukum teori
Connectionisme?
1.2.4 Bagaimana aplikasi teori
Connetionisme dilapangan?
1.3. Tujuan Pembahasan
Melalui pembahasan dalam makalah ini, agar diketahui tentang
1.3.1 Pengertian teori belajar
Behaviorisme
1.3.2 Pengertian teori
Connectionisme
1.3.3 Hukum-hukum teori
Connectionisme
1.3.4 Aplikasi teori Connetionisme
di lapangan
BAB II
LANDASAN
TEORI
Belajar tidak hanya meliputi mata pelajaran saja, tetapi juga
penguasaanya, kebiasaan, persepsi kesenangan, minat , penyesuaian sosial, bermacam-macam
keterampilan dan cita -cita
Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dan persepsi dan
perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan
masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.
Perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari
nilai-nilai sosial, misal seorang penjahat mungkin sekali menjadi seorang yang
sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial itu bukanlah perbaikan, melalui
pemahaman tentang teori-teori belajar, seorang pendidik diharapkan tidak salah
persepsi dalam pembelajaran, pendidikan, maupun prinsip-prinsip pembelajaran
dan perkembangan teori pembelajaran, yang pada akhirnya menjadi bekal buat
pendidik untuk melaksanakan dilapangan. Teori belajar yang dikenal saat ini
diantaranya, teori Behaviorisme, kognitivisme dan Humanisme.
Teori Behaviorisme telah cukup lama dianut oleh para pendidik, akan
tetapi teori ini banyak dikritik karena sering tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang komplek, hal ini terjadi karena banyak variabel atau hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan yang dapat di ubah menjadi hubungan stimulus dan
respon. Tokoh-tokohnya yaitu : Ivan Petrovich Pavlov, Edward Lee
Torndike,Skinner, Watson,Clark Hall, Edwin Guthnie.
Teori Kognitisme, menurut pandangan ini belajar adalah proses internal
mental manusia yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan terjadi
dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat dalam situasi
tertentu, perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu refleksi dan perbuatan
internal dan tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental.
Tokoh-tokohnya yaitu : John Anderson, Jean Piaget, Robert Glaser, Jer orne
Bruner dan David Ausubel.
Teori Humanistik, berpendapat bahwa, belajar tenjadi bila mempunyai anti
bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan murid yang tidak disukai atan tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Konsep dasarnya adalah Meaning ( makna atau
arti). Tokoh-tokohnya adalah: Abrah am Maslov, Arthur Combs dan Donald Snygg.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner mengenai perubahan tingkah laku sebagai hasil dan
pengalaman. Lalu teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan teori
pembelajaran. Pengembangan teori ini dikenal aliran behavioristik
Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu ini menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Perilaku yang
timbul akan semakin kuat jika diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Belajar merupakan sebuah interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dapat menunjukkan perubahan pada
perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input berupa
stimulus dan output berupa respon.
Stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru pada murid,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan murid terhadap stimulus
yang diberikan guru tersebut, Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamanati adalah stimulus dan respon. Jadi apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh murid (respon)
harus bisa diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran sebab
pengukuran merupakan hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya terjadi
perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting dari aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Jika penguatan
ditambahkan (positive reinvoreement) respon akan semakin kuat. Begitupun jika
respon dikurangi atau dihilangkan (negative reinforcement), respon juga semakin
lemah. Tokoh-tokohnya adalah Edward Lee Thorndike, Watson, Skinner, dll
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk
perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung
unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya
tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari,
menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam
suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran
yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling
efektif untuk menertibkan siswa.
3.2 Teori Connectionisme
Edward Lee Thorndike dianggap sebagai ilmuwan behaviorisme terbesar
sepanjang sejarah. Teori-teorinya mudah dan dapat dimengerti serta mudah
diaplikasikan di dunia nyata. Beberapa teori yang mengusik pikiran para
kritikus pendidikan adalah salah satu teori utamanya yang disebut dengan
conectionisme.
Edward Lee Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan kemudian
Universitas Harvard telah membentuk ide-ide Thorndike mengenai psikologi.
Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia
berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming,
hubungan antara Stimulus dan Respons.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat
diterapkan melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.
Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa
secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan).
Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan
siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa
yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “conectionisme”.
Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan
antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon
) atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan
spontan) untuk bertindak (impuls to action) disebut “bond” atau “connection”
atau “association”. Karena itulah maka teori ini disebut “connectionis”
atau “bond psikologi”. Menurut Thorndike, asosiasi itu membentuk
sebagian besar, meskipun bukan seluruhnya, apa yang di pelajari dan diingat
oleh manusia .Teori ini disebut juga dengan “trial and error learning” (belajar
dengan cara coba salah) atau “learning by selecting and connecting” (belajar
dengan menyaring dan menghubungkan). Menurut teori ini, belajar dilakukan
dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat terhadap stimulus
tertentu.
Dari definisi belajar tersebut menurut Thorndike perubahan tingkah laku
akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak
dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat
diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan
inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini
disebut juga sebagai aliran koneksionisme (connectionism).
Dalam melakukan eksperimennya, pilihan pertamanya mengadakan penyelidikan
terhadap anak-anak (human learning) tetapi kemudian lingkungannya
membuat ia mulai mempelajari binatang (animal learning) sebagai
penggantinya. Percobaan pada binatang digunakan untuk membuktikan teorinya.
Berdasarkan pada serentetan studi mengenai ayam dan kucing Thorndike
mengkonsepsikan aktivitas problem solving
binatang dengan istilah asosianistis. Melalui murid muridnya dan sejumlah besar
kertas kerja dan bukunya, Thorndike secara serentak memberi pengaruh dasar pada
penelitian psikologi belajar dan penerapan praktis di dalam psikologi
pendidikan.
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukan sebuah eksperimen pengkondisian
klasik anjing oleh Ivan, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing yang
lapar dalam sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar
dari kotak, kucing itu harus mengetahui cara membuat palang di dalam kotak
tersebut. Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak
efektif. Dia mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak
sengat menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan
kekotak, dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali
lagi. Pada percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan
acak, sampai dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka
pintu.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti
teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi
melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing
tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka
pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana,
secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu
sangkar tersebut. Eksperimen Puzzle box ini kemudian terkenal dengan
instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi
sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang
dikehendaki (Hirdzman, 1978).[14]
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting
and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan
membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung
untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap
response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan
menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan
sebagai berikut:
S
R
S1
R1 dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka
kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari.
Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu
sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini
diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12
kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar
diletakkan makanan.
Berdasarkan eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya, teori
koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of
Learning, Selain itu, teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and
Error Learning”.
Adapun ciri-ciri belajar dengan Trial and Error Learning yaitu:
adanya motif pendorong aktivitas, adanya berbagai respon terhadap situasi dan
adanya aliminasi respon-respon yang gagal atau salah. Istilah ini menunjuk pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan
(Hikgard & Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam
eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong
timbulnya fenomena belajar.
Pertama, kucing yang dalam keadaan lapar. Seandainya kucing itu
dalam keadaan kenyang, mungkin tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan,
mungkin kucing tertidur dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan
perkataan lain, kucing tidak akan menunjukkan gejala belajar untuk keluar
sangkar. Oleh karena itu, motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang
sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan
ini merupakan efek. Positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan
kemudian menjadikan dasar timbulnya hukum.
Dasar-dasar teori connectionisme dari Edward Lee Thorndike (1874-1949), diperoleh
juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang.
Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah
binatang mampu memecahkan masalah menggunakan reasoning atau akal, dan atau
dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
Dalam membuktikan
teorinya thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan
kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana kandang tersebut terdapat
celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang
berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila
seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang
tersebut. mula-mula kucing tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia
menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang kucing ini melakuakn respon
atu tindakan dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari
kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga
menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada.
Thrndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi
yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemuka jalan
keluar membutuhkan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan
jumblah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu
selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang
ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa
keluar dari kandang ia pegang tindakan ini sehingga kucing tadi dalam keluar
untuk mendaptkan makanan tidak lagi perlu mengitari kandang karena tindakan ini
dirasa tidak cocok, akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang
menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
3.3
Hukum-hukum Belajar dari Edward
Lee Thorndike
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (hukum
primer) dan lima hukum tambahan (subsider).
Adapun tiga hukum dasar (primer)
dari Thorndike adalah sebagai berikut:
·
law of readiness; jika
reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi
itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
·
law of
exercise; makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulasi
respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”.
·
law of effect”; bilamana
terjadi hubungan antara stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of
affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bila mana
hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan
menjadi berkurang.
Faktor penting yang mempengaruhi semua belajar adalah reward atau
“pernyataan kepuasan dari suatu kejadian”. Dalam penulisan kemudian, Thorndike
menghapuskan bagian negatif yang “mengganggu” dari hukum law of effect
(hukum pengaruh) karena dia menemukan bahwa hukuman tidak penting. Hukuman akan
memperlemah ikatan dan tidak mempunyai efek apa-apa, berbeda dengan hadiah (reward).
Law of excercise (hukum latihan) adalah prinsip belajar yang
kedua, yang pada umumnya dinyatakan hubungan antara S dan R akan menjadi
semakin kuat dengan makin sering R (respons) dilaksanakan terhadap S
(stimulus). Dengan latihan berkali-kali (law of use) hubungan S dan R
makin kuat. Hubungan antara stimulus dan respons akan melemah bila latihan
dihentikan atau bila hubungan neural (berhubungan dengan urat saraf)
tidak ada. Dia juga memodifikasi dalam penulisan tanpa hadiah yang mendapatkan
hadiah.
Teori belajar Thorndike mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran
umum bagi guru adalah tahu apa yang harus diajarkan, respons apa yang
diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat.
Thorndike menunjukkan satu ikatan antara stimulus dan respons yang
terjadi dalam matematika. Ulangan yang tetap dari tabel perkalian dengan
pemberian hadiah dari guru akan membentuk ikatan antara stimulus (berapa 7X7)
dan respons (49). Dalam membaca ulangan juga ditekankan dengan menyuruh siswa
belajar menggunakan kata sesering mungkin pada berbagai tingkat kelas.
The law af effect (hukum pengaruh) mengarah pada pemberian hadiah
yang konkret, seperti gambar bintang yang ditempelkan pada dahi siswa (untuk
siswa TK dan SD) pada kertas hasil ulangan siswa, pujian verbal. The law of
exercise mengarah pada banyaknya ulangan, praktik, dan drill untuk semua
mata pelajaran.
Thorndike berkeyakinan bahwa
prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada
manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa
dipeantarai pengartian. Binatang
melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara
mekanis.
Selanjutnya Thorndike
menambahkan hukum tambahan antara lain:
·
Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response). Hukum ini mengatakan bahwa pada
individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya
bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan
masalah yang dihadapi.
·
Hukum Sikap (Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang
ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun
psikomotornya.
·
Hukum Aktifitas
Berat Sebelah (Prepotency of Element). Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam
proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan
persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
·
Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu
dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu
sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan
situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan
unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
·
Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting). Hukum ini mengatakan bahwa proses
peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan
membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian
teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar yaitu :
Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup
untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan
stimulus respon belum tentu diperlemah. Selanjutnya hukum akibat direvisi,
dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah
laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon
bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
Dan akibat suatu perbuatan dapat
menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar
dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya
berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
Adapun Prinsip-Prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Edward Lee Thorndik,
yaitu :
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan
situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon
tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang
sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok
dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema
keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda
walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan prilaku
anak yang kurang wajar.
2. Dalam
diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan
respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong
masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur
yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan
yang diinginkan.
3. Orang
cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti
apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia
mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang
sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi
tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
3.4
Aplikasi Teori Connectionisme terhadap Pembelajaran Siswa
Edward Lee Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah
mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa
yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak
diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau
membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan
jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta
didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat
menerapkan menurut bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti
pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta
didik terutama ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic
motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap
stimulus. Bila peserta didikan melakukan respon yang salah, harus segera
diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang teratur
diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik
sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap
kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum kesepian. Peserta
didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum
baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan
mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat
terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi pelajaran yang
diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak
setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi
kemampuan anak, tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya. Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku
yang tampak.
Dengan konsep
dasar teori koneksionisme Thorndike tersebut di atas, maka kami mencoba
mengaplikasikan ke dalam sebuah
perencanaan pembelajaran IPS sebagai berikut:
a. Pendahuluan
a. Pendahuluan
·
Guru meminta salah satu anak maju
ke depan untuk memimpin menyanyikan sebuah lagu dari sabang sampai merauke,
sehingga siswa mengawali proses pembelajaran dengan perasaan riang gembira dan
bersemangat
·
Guru mengingatkan tentang materi
pelajaran yang lalu dengan tanya jawab secara lisan. Hal ini dilakukan agar
siswa memiliki bekal yang berkaitan dengan materi yng akan diperoleh.
·
Guru mengadakan Pre tes untuk
mengetahui kemampuan awal siswa sebelum mengikuti pembelajaran
·
Guru menunjukkan gambar-gambar
tokoh atau yang lain sesuai dengan topik atau materi pelajaran yang akan
diajarkan untuk membangun kesiapan siswa pada materi pelajaran yang akan
diperoleh
b.
Kegiatan Inti
·
Siswa diminta untuk menunjukkan
letak Pulau Irian Jaya pada peta
·
Memberi pertanyaan kepada siswa
tentang isi Konferensi Meja Bundar yang berkaitan dengan status Irian Barat
·
Membagi kelas menjadi 5 kelompok,
setiap kelompok beranggotakan 6 orang mendiskusikan tentang perjuangan bangsa
Indonesia mengembalikan Irian Barat.
Kelmpok I.
Menjelaskan
Keterkaitan antara isi Perjanjian KMB dengan usaha perjuangan
Pengembalian Irian Barat.
Pengembalian Irian Barat.
Kelompok II
Menjelaskan
latar belakang terjadinya perjuangan mengembalikan Irian Barat.
Kelompok III
Mengidentifikasi
perjuangan diplomasi dan ekonomi dalam upaya mengembalikan Irian Barat.
Kelompok IV
Mengidentifikasi
perjuangan dengan konfrontasi politik dalam upaya mengembalikan Irian Barat.
Kelompok V
Mengidentifikasi
pelaksanaan Trikomando rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain
menanggapi sekaligus memberi penilaian kepada kelompok yang presentasi.
Kelompok lain memberikan applaus sebagai penghargaan bagi kelompok yang selesai berdiskusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan oleh siswa, karena dengan memberikan penghargaan tersebut akan mempengaruhi motivasi dan hasil belajar siswa
Kelompok lain memberikan applaus sebagai penghargaan bagi kelompok yang selesai berdiskusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan oleh siswa, karena dengan memberikan penghargaan tersebut akan mempengaruhi motivasi dan hasil belajar siswa
c.
Kegiatan Penutup
·
Guru membimbing siswa menarik
kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan
·
Memberi soal pos tes, dimaksudkan
untuk mengukur kemampuan siswa terhadap materi pelajaran yang telah
diperolehnya selama proses pembelajaran.
·
Guru melakukan refleksi dengan
menanyakan kesan-kesan kepada siswa tentang kegiatan yang dilakukan, sekaligus
membahas kekurangan dan kelebihan pembelajaran pada hari itu
·
Guru memberi tugas mempelajari
materi berikutnya sebagai upaya membangun kesiapan materi siswa pada pertemuan
yang akan datang.
Adapun temuan di
lapangan tentang teori belajar connectionisme yaitu dengan memahaini prinsip
conectionisme ini, maka tugas utama pendidik di dalam kelas adalah membuat anak
didikiiya memahami manfaat pelajaran yang akan disampaikannya. Manfaat yang
dimaksud bukan berarti manfaat yang melambung-lambung, akan tetapi manfaat
praktis yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut prinsip
connectionisme, mata pelajaran yang tidak dipahami manfaat kesehariaannya, akan
sulit pula dipahami oleh siswa. Andaikata pelajaran i tu dapat dihapalkan, akan
cepat sekali dilupakan, karena apa saja yang tidak dibutuhkan akan dibuang.
Contoh, saat ini banyak sekali pelajaran yang sulit dimengerti manfaat
praktisnya oleh anak didik. Sebagai contoh, anak SMA sudah diajarkan masalah
eksport - import. Pertanyaan sederhana, apakah eksport-irnport adalah dunia
anak remaja? Apakah benar mereka membutuhkan pelajaran i tu untuk bisa bertahan
dalam kehidupan sehari-hari? Akhirnya yang terjadi adalah hapal menghapal asal
hapal saja. Andaikata mata pelajaran itu secara material sekilas tidak ada
manfaat praktisnya bagi peserta didik, maka di sinilah peran pendidik untuk
menekankan manfaat pelajaran yang disampaikan. Mafaat dapat disampaikan dengan
menggunakan contoh sehari-hari anak didik yang dikaitkan dengan pelajaran yang
diajarkan. Dapat juga ditekankan tentang bagaimana fenomena sehari-hari yang
ditemui, pada dasarnya hanya dapat dipahami hanya dengan mata pelajarana
tersebut. Misalnya bagairnana pelajaran ekonomi dapat menjelaskan sampai
masalah mengapa ibu-ibu anak didik semakin pelit, atau mengapa ayah selalu
marah-marah kalau pulang kerja, dan yang lainnya. Pelajaran ekonomi yang hanya
menjelaskan teori-teori saja, belum dapat menyentuh rasa butuh anak didik yang
pada akhirnya tidak akan mampu membuat mereka memahami pelajaran.
Contoh lain disebuah sekolah kejuruan (SMK), ada pelajaran normatif, adaptif
dan produktif. Untuk mata pelajaran produktif, anak selain diberi teori tentang
pelajaran tersebut, juga diberikan praktek langsung tentang teori yang sudah
diberikan. Mereka di didik langsung berekspenimen mengaplikasikan teori-teori
dasar yang sudah diajarkan .
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu ini menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.
Perilaku yang timbul akan semakin kuat jika diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut
teori “conectionisme”. Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan
atau penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (respon,
sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon ) atau antara kesan indera (sense
impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk bertindak (impuls to
action) disebut “bond” atau “connection” atau “association
Adapun tiga hukum dasar (primer)
dari Thorndike adalah sebagai berikut:
·
law of readiness; jika
reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi
itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
·
law of
exercise; makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulasi
respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”.
·
law of effect”; bilamana
terjadi hubungan antara stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of
affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bila mana
hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan
menjadi berkurang.
4.2
Saran
Alhamdulilah makalah ini telah
selesai tepat pada waktunya. Menurut kami, belajar terjadi karena
adanya rasa ingin tahu dan dengan adanya dorongan motivasi. Yang bertujuan
membentuk, menambah atau mengembangkan pengetahuan. Belajar yang baik harus
sering diulang-ulang kemudian dipraktekkan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini sangat jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih
maju di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiin
DAFTAR
PUSTAKA
Boere, George, 2005. Sejarah
Psikologi, Jakatra, Prima Shopie.
Esti, Sri, 2006. Psikologi
Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
2008. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia.
George, Boere, 2005. Sejarah
Psikologi, Jakarta, Prima Shopie.
Muchith, Saekhan, 2008. Pembelajaran
Kontektual, Semarang, Media Group.
Rumini, Sri, 1993. Psikologi
pendidikan, Yogyakarta, Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP).
Santrock, John W, 2008. Psikologi
Pendidikan, Jogyakarta.
Soemanto, Wasty, 1998. Psikologi
Pendidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
2003. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin, 2007. Psikologi
Belajar, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Tohirin, 2005. Psikologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Rizal, Muhammad, 2004, Teori Thorndike
dalam belajar.
http://pandidikan.blogspot.com/2010/04/teori-Thorndike-dalam-belajar.htlm